Surabaya, Lingkaran.net Provinsi Jawa Timur masih menghadapi tantangan serius dalam sektor pendidikan. Berdasarkan data dari Pusat Data Statistik 2024, angka buta huruf (ABH) di beberapa wilayah Jawa Timur tercatat masih tinggi, terutama di daerah-daerah terpencil dan kepulauan.
Hal ini mengemuka dalam Rapat Paripurna DPRD Jatim dengan agenda Pendapat Akhir Fraksi Partai NasDem terhadap Rancangan Peraturan Daerah tentang RPJMD Tahun 2025-2029, Senin (7/7/2025).
Baca juga: Lebih 4.000 Pekerja Ter-PHK di Jatim, Fraksi PDIP Ingatkan Bahaya Pengangguran 2026
Juru Bicara Fraksi NasDem, Khusnul Arif mengungkapkan keprihatinan atas disparitas tingkat keaksaraan antarwilayah di Jawa Timur.
“Terdapat ketimpangan serius yang harus dijawab secara konkret oleh RPJMD. ABH yang tinggi bukan sekadar isu pendidikan, tapi persoalan kemiskinan struktural dan keterisolasian wilayah,” ujarnya.
Tiga kabupaten yang menempati peringkat tertinggi ABH di Jawa Timur adalah Kabupaten Sampang (14,02%), Kabupaten Probolinggo (11,22%) dan Kabupaten Bondowoso (9,94%).
Ketiga daerah ini memiliki karakteristik sosial budaya yang unik. Tingginya pengaruh budaya lokal, rendahnya mobilitas penduduk, serta terbatasnya infrastruktur pendidikan dasar.
Sebaliknya, daerah dengan tingkat buta huruf terendah berada di wilayah perkotaan yang memiliki akses pendidikan lebih baik, yakni Kabupaten Sidoarjo (0,69%), Kota Surabaya (1,08%) dan Kota Pasuruan (1,15%).
Baca juga: Sri Wahyuni: Hari Ibu Bukan Seremoni, Perempuan Penentu Arah Pembangunan Jawa Timur
RPJMD 2025–2029 Perlu Pendekatan Afirmasi
Dokumen RPJMD Jawa Timur 2025–2029 menetapkan pengembangan SDM berkualitas sebagai salah satu isu strategis utama dalam Misi 4 yakni Jatim Cerdas.
Namun, Fraksi NasDem menilai bahwa program-program tersebut belum menyasar secara spesifik daerah dengan ABH tinggi.
“Kami mendorong adanya affirmative action berbasis peta sebaran ABH di tingkat desa dan kecamatan,” tegas Khusnul.
Baca juga: Pansus BUMD Jatim Ditantang Bongkar Tempat Parkir Politik
NasDem juga menekankan perlunya sinergi lintas sektor, antara lain dengan pengembangan program keaksaraan fungsional berbasis life skills.
Selain itu, lanjut dia, pendidikan nonformal di komunitas adat dan pesantren tradisional dan pelatihan bagi guru keaksaraan lokal, lengkap dengan insentif yang memadai.
“Kami ingin agar RPJMD tidak hanya fokus pada sekolah formal, tetapi juga menyentuh pendidikan informal dan kultural, yang sangat relevan bagi masyarakat terpencil,” tambah Khusnul. (*)
Editor : Setiadi